Sabtu, 18 Oktober 2014

Issue Arsitektur

Bentuk Aplikasi Ekologi Arsitektur dalam Bangunan
Rancangan arsitektur merupakan media yang memberi dampak secara langsung terhadap penggunaan lahan.
Konsep desain yang dapat meminimalkan penggunaan energi listrik , misalnya dapat digolongkan sebagai konsep
sustainabel dalam energi, yang dapat diintegrasikan dengan konsep penggunan sumber cahaya matahari secara maksimal
untuk penerangan, penghawaan alami, pemanasan air untuk kebutuhan domestik dan sebagainya.
Sebagai konsep arsitektural yang ramah lingkungan, dalam perwujudan eko-arsitektur dalam bangunan, terbagi
beberapa tingkat sistim operasional untuk yang digunakan dalam penggunaan energi bangunan dengan kategori sebagai
berikut :
· Sistim Pasif (passive mode)
Tingkat konsumsi energi paling rendah, tanpa ataupun minimal penggunaan peralatan ME (mekanikal elektrikal) dari
sumber daya yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources)

· Sistim Hybrid (mixed mode)
Sebagian tergantung dari energi (energy dependent) atau sebagian dibantu dengan penggunaan ME.
· Sistim Aktif (active mode)
Seluruhnya menggunakan peralatan ME yang bersumber dari energi yang tidak dapat diperbarui (energy dependent).
· Sistim Produktif (productive mode)
Sistim yang dapat mengadakan/ membangkitkan energi nya sendiri (on-site energy) dari sumber daya yang dapat
diperbarui (renewable resources) misalnya pada sistim sel surya (fotovoltaik) maupun kolektor surya (termosiphoning).
Berikut adalah beberapa sistem dan elemen terapan yang dapat diaplikasikan dalam bangunan untuk
mendukung konsep ekologi arsitektur :
Optimalisasi Vegetasi
Unsur hijau yang diidentikkan dengan vegetasi ditunjukkan dengan menambahkan elemen-elemen penghijauan tidak
hanya pada lansekap saja tetapi juga dalam bangunan, seperti pemberian roof garden, pemberian vegetasi rambat pada dinding bangunan dan lain sebagainya.

 
Sistem Pencahayaan Alami
Secara umum perletakan jendela harus memperhatikan garis edar matahari, sisi utara dan selatan adalah tempat potensial
untuk perletakan jendela (bukaan), guna mendapatkan cahaya alami. Sedangkan posisi timur dan barat pada jam-jam
tertentu diperlukan perlindungan terhadap radiasi matahari langsung. Untuk keperluan tersebut sudah banyak program
komputer yang dapat membantu simulasi efek cahaya matahari terhadap disain selubung bangunan.
Konsep disain fasade untuk tujuan efisiensi energi tergantung dengan posisi geografis dan iklim setempat.
Permasalahannya banyak bangunan di Indonesia yang meniru bangunan yang ada di Eropa tanpa disesuaikan dengan
kondisi geografis dan iklim di Indonesia, misal : jendela yang tanpa dilengkapi tabir matahari (sun screen).


Fasade Kaca Pintar
Fasade kaca pintar merupakan suatu konsep teknologi mutakhir dinding tirai kaca yang mempertemukan kepentingan
ekologi maupun ekonomi bagi bangunan perkantoran bertingkat tinggi yang dikondisikan sepenuhnya (fully airconditioned).
Ia mampu mengurangi pantulan panas matahari dari bangunan bangunan kaca tinggi yang menyebabkan
meningkatnya temperatur lingkungan diperkotaan (heat-island effect) maupun efek rumah kaca pada atmosfer bumi
(green house effect).
Fasade kaca pintar pada umumnya adalah konstruksi dinding kaca ganda (double-skin construction) dengan
rongga udara antara 35cm- 50cm antara kaca luar dan kaca dalam. Dinding kaca luar ketebalan 12mm dari jenis kaca
dengan transmisi tinggi (umumnya kaca bening), sedangkan kaca dalam ketebalan 6-8mm dari jenis high performance
glass. Terdapat rongga udara menerus sehingga merupakan cerobong kaca (glass-shaft) dengan ketinggian meliputi
beberapa lantai sesuai dengan studi analisis yang dilakukan.






Penghalang Sinar Matahari (shading device)
Pengontrolan terhadap panas karena sinar matahari dapat dilakukan dengan pengunaan solar shading yang akan
menghalau sinar matahari langsung masuk ke bangunan serta memberikan pembayangan yang dapat mengurangi panas.
Different shading strategies. The text below describes the image.   
Kesimpulan

Hampir setiap negara memiliki standar gedung hijau sendiri seperti di Singapura, Australia, Malaysia, dan
Amerika Serikat. Salah satu standar yang banyak digunakan adalah sistem LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yang berasal dari AS. LEED merupakan sistem penilaian gedung hijau yang dirumuskan oleh
US Green Buildidiadopsi oleh sekitar 30 negara lain, beberapa di antaranya adalah India, China, Arab Saudi, dan Vietnam. Masalahnya, hingga kini, menurut Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), belum ada standardisasi bangunan ramah lingkungan yang sesuai dengan kondisi alam Indonesia, guna menjadi acuan dalam rancangan konstruksi bangunan.





Daftar Pustaka
Frick, Heinz (1998), Dasar dasar Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Frick, Heinz (2006), Arsitektur Ekologis, Penerbit Kanisius Yogyakarta
Satwiko Prasasto (2005); Arsitektur Sadar Energi, Penerbit Andi, Yogyakarta
Smith, Peter F. (2005) Architecture in a Climate of Change, McGraw Hill Book Company, New York.
Vale, Brenda and Robert Vale, (1991), Green Architectur, Design for a Sustainable Future, Thames and Hudson,
London
http://gbtech.emsd.gov.hk/english/minimize/green_solar.html